Energi

Energi Terbarukan dan Krisis Air Jadi PR Data Center Indonesia

Energi Terbarukan dan Krisis Air Jadi PR Data Center Indonesia
Energi Terbarukan dan Krisis Air Jadi PR Data Center Indonesia

JAKARTA - Pertumbuhan data center di Indonesia tengah melaju pesat, didorong oleh transformasi digital dan lonjakan kebutuhan penyimpanan data nasional.

Namun, di balik geliat investasi dan dukungan pemerintah terhadap sektor ini, masih tersimpan sejumlah tantangan mendasar yang berpotensi menghambat keberlanjutan ekosistem digital Indonesia.

Bukan semata persoalan lahan dan permintaan pasar, hambatan sesungguhnya datang dari aspek tata kelola (governance), kebijakan energi terbarukan, hingga krisis sumber daya air, khususnya di kawasan strategis seperti Batam. 

Ketiga hal tersebut kini menjadi sorotan utama dalam upaya mewujudkan operasi data center yang efisien sekaligus ramah lingkungan.

Peneliti Ekonomi dari CSIS Indonesia, Ardhi R. Wardhana, menilai bahwa masalah paling krusial justru berada di area yang sering diabaikan publik: tata kelola, mekanisme pengadaan energi hijau, dan kebijakan makroekonomi yang belum selaras dengan agenda transisi energi bersih.

“Permasalahan utama bukan hanya soal lahan atau kebutuhan energi, tetapi tata kelola, regulasi energi, dan kebijakan makro yang belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih,” ujar Ardhi.

Tata Kelola dan Regulasi Energi Jadi Pekerjaan Rumah Utama

Dalam paparannya, Ardhi menegaskan bahwa isu governance masih menjadi akar dari banyak persoalan di sektor data center. Ia menyebut praktik tata kelola pengelolaan energi dan data center di Indonesia masih belum optimal, terutama dari sisi perizinan dan koordinasi antarinstansi.

“Pertama governance itu pasti kan, tadi governance sudah sekiranya kita tahu praktikitasnya seperti apa. Yang kedua secara teknis juga dari energi sendiri, tadi juga disebutin bahwa lahan yang salah satunya. Tapi sebenarnya selain lahan itu ada banyak perintilan lainnya juga,” tutur Ardhi.

Selain persoalan tata kelola, keterbatasan dalam pengadaan energi hijau juga menjadi hambatan signifikan. Ardhi menyoroti bahwa tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tinggi sering kali mengurangi fleksibilitas industri dalam mengakses teknologi energi terbarukan seperti panel surya (PV) atau sistem kelistrikan berbasis hijau.

Meskipun pemerintah telah menerbitkan Permenperin No. 35 Tahun 2025, aturan tersebut dinilai belum cukup efektif mendorong percepatan adopsi energi terbarukan di sektor data center.

“Salah satu yang juga menghambat, makanya tadi salah satu usulan kami kan adalah adanya graduated untuk TKDN. Jadi supaya ekosistem procurement itu juga terjaga, dan mereka ada insentif untuk bisa procure lebih banyak Renewable Energy,” jelas Ardhi.

Kebijakan bertahap seperti graduated TKDN diyakini dapat menyeimbangkan antara kebutuhan industri akan efisiensi dan target pemerintah untuk memperkuat industri lokal.

Subsidi Energi Fosil Ciptakan Ketimpangan dalam Transisi Energi

Tantangan berikutnya datang dari sisi kebijakan makroekonomi yang masih berpihak pada energi fosil. Ardhi menegaskan bahwa subsidi langsung dan tidak langsung terhadap bahan bakar fosil menyebabkan harga energi konvensional menjadi lebih murah secara “artifisial”, sehingga menekan daya saing energi terbarukan.

“Tapi yang membuat ini tidak akan jadi secara natural, itu karena ada artificial change yang dilakukan oleh pemerintah, yang mana dikasih subsidi. Nah direct subsidies dan kompensasi itu sebenarnya menyebabkan fosil fuel lebih murah dibandingkan Renewable,” jelasnya.

Skema Domestic Market Obligation (DMO) serta subsidi harga energi membuat pelaku industri data center sulit beralih sepenuhnya ke sumber energi hijau. Padahal, secara teknologi dan efisiensi, penggunaan energi terbarukan sudah mampu memenuhi kebutuhan operasional pusat data modern.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa transformasi energi bukan sekadar soal kesiapan teknologi, melainkan keberanian kebijakan untuk mengoreksi distorsi pasar energi yang masih mendominasi Indonesia.

Batam Terancam Krisis Air, Risiko Baru untuk Operasi Data Center

Selain isu energi, krisis air kini menjadi ancaman baru bagi operasional data center, terutama di wilayah Batam, yang menjadi salah satu lokasi prioritas pembangunan data center nasional. Daerah tersebut memiliki keterbatasan pasokan air bersih dan kapasitas pengolahan air (water treatment) yang masih rendah.

“Karena memang di Batam sendiri kan sumber air lebih sulit, dan water treatment itu juga terlalu terbatas dibandingkan di sini (Pulau) Jawa,” ujarnya.

Ardhi mengingatkan bahwa tanpa perencanaan matang, potensi krisis air di Batam dapat memicu gangguan operasional hingga konflik sumber daya dengan masyarakat sekitar. 

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mendorong pembangunan fasilitas pengolahan air tambahan serta memberi insentif bagi industri yang menerapkan teknologi hemat air atau sistem pendingin berbasis daur ulang.

“Yang penting dilakukan pemerintah adalah menyediakan lebih banyak water treatment di sana, dan mengarahkan pelaku usaha menggunakan teknologi yang tidak memakai air secara berlebihan,” sebut Ardhi.

Beberapa teknologi mutakhir seperti water immersion cooling mampu mendaur ulang hingga 90% air yang digunakan, sementara sebagian negara lain telah beralih ke sistem pendingin berbasis air laut atau coolant non-air.

“Nah teknologi yang paling baru adalah menggunakan bukan air biasa ya, tapi coolant. Itu tidak ganggu ground water atau ekosistem air di sekitarnya,” tambahnya.

Sinergi Pemerintah dan Industri Jadi Kunci Keberlanjutan

Menutup pemaparannya, Ardhi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, pelaku industri, dan lembaga riset. Menurutnya, keberlanjutan data center tidak dapat dilepaskan dari integrasi kebijakan publik yang konsisten, penerapan teknologi hijau, serta transparansi tata kelola.

Ia menekankan bahwa langkah konkret pemerintah dalam mendorong efisiensi energi, memperluas infrastruktur air, dan menciptakan ekosistem regulasi yang adaptif akan menentukan arah masa depan industri digital Indonesia.

Dengan sinergi yang kuat, Indonesia dapat mewujudkan sektor data center yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi digital, tetapi juga selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan dan ketahanan energi nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index